Bagi orang Ambon, isilah "degu-degu" sangat identik dengan tempat santai setelah bekerja, atau beristirahat pada waktu malam. Ada juga istilah lain yang mempunyai kesamaan fungsi dengan degu-degu yaitu "walang" dan "paparisa".
Baik istilah "degu-degu", "walang" dan "paparisa" sekarang sudah mulai hilang di mulut setiap remaja yang bertumbuh di masa "gaul". Penggunaan bahasa "gAuL" dalam berkomunikasi bahkan membuat "logat", "idem" orang Ambon mulai luntur. Padahal hal itu yang menjadi identitas masyarakat Ambon/Maluku pada umumnya.
Para remaja lebih suka berkomunikasi dengan "lu", "gue" daripada dengan "ale", "beta". Sebuah nilai yang sebenarnya telah "dicuri" secara tidak langsung oleh kaum "ABG". Padahal, kaum "ABG" yang ada di kota Ambon/Maluku semua berasal dari "Jujaro" dan "Mungare".
Dan yang lebih parah lagi, para "Jujaro deng Mungare" yang sempat menimba ilmu di luar Maluku lebih suka berkomunikasi dengan bahasa, dialeg dari tempat mereka menimba ilmu. Suatu hal yang sebenarnya sudah menjadi ancaman bagi budaya Maluku tapi kurang disadari oleh masyarakatnya.
Sebagai "Jujaro deng Mungare" yang ada di Maluku, mari sama-sama kita jaga dan lestarikan budaya yang hampir punah ini. Jangan sampai anak cucu kita tidak bisa menikmati warisan yang "tete deng nene moyang" titip untuk kita jaga.
Mari, "cakadidi par bangun katong pung Maluku ni"
"stenga sa su enak, apalai kong anteru lai....?"
Baik istilah "degu-degu", "walang" dan "paparisa" sekarang sudah mulai hilang di mulut setiap remaja yang bertumbuh di masa "gaul". Penggunaan bahasa "gAuL" dalam berkomunikasi bahkan membuat "logat", "idem" orang Ambon mulai luntur. Padahal hal itu yang menjadi identitas masyarakat Ambon/Maluku pada umumnya.
Para remaja lebih suka berkomunikasi dengan "lu", "gue" daripada dengan "ale", "beta". Sebuah nilai yang sebenarnya telah "dicuri" secara tidak langsung oleh kaum "ABG". Padahal, kaum "ABG" yang ada di kota Ambon/Maluku semua berasal dari "Jujaro" dan "Mungare".
Dan yang lebih parah lagi, para "Jujaro deng Mungare" yang sempat menimba ilmu di luar Maluku lebih suka berkomunikasi dengan bahasa, dialeg dari tempat mereka menimba ilmu. Suatu hal yang sebenarnya sudah menjadi ancaman bagi budaya Maluku tapi kurang disadari oleh masyarakatnya.
Sebagai "Jujaro deng Mungare" yang ada di Maluku, mari sama-sama kita jaga dan lestarikan budaya yang hampir punah ini. Jangan sampai anak cucu kita tidak bisa menikmati warisan yang "tete deng nene moyang" titip untuk kita jaga.
Mari, "cakadidi par bangun katong pung Maluku ni"
"stenga sa su enak, apalai kong anteru lai....?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar